Pada tahun 2006, Tang Shu juga pernah menetap di Ubud, Bali selama hampir satu bulan. Di tengah-tengah pesona suasana pedesaan yang dekat dengan alam dan kehidupan masyarakatnya yang sarat dengan tradisi dan acara-acara ritual keagamaan dan kondisi kehidupan yang sangat bertolak belakang dengan kota Shanghai, kota besar yang sangat modern tempat dimana ia tinggal.
Jelas saja, karena Shanghai telah bersentuhan dengan budaya Barat sejak tahun 1930-an dan kini sangat multibudaya. Di Shanghai kehidupan berdenyut cepat, terbawa arus modernisasi dan sebagian besar masyarakatnya tidak mempunyai kepercayaan atau agama yang kuat, sehingga membuat mereka seakan “kehilangan arah.”

Karya lukisannya jelas tidaklah menggambarkan keindahan yang kasat mata akan alam maupun kehidupan ritual masyarakat Bali, seperti yang sering digambarkan kembali oleh seniman asing yang berkunjung ke Bali. Tidak juga menggambarkan tragedi dan kesakitan seperti karya-karyanya terdahulu.
Dengan sapuan kuas yang lembut, karya-karya lukisan yang dikerjakannya di Bali yang kebanyakan diberi judul “Upacara” lebih menggambarkan perasaan damai, perasaan yang dirasakannya ketika berada di tengah masyarakat yang tengah menjalankan ritual dalam keseharian yang bernafaskan upacara (ceremonial). Subjeknyapun memancarkan ekspresi rasa yang penuh emosi. Tang Shu sang seniman kontemporer akhirnya menyadari betapa pentingnya agama sebagai obat bagi masyarakat modern yang sering kehilangan arah.